Apakah Internet Memperburuk Jurnalisme?

PESONALAMPUNGNEWS.COM – Internet saat ini telah menjadi tempat yang sangat bising. Berbagai informasi bebas berseliweran dengan kualitas yang bermacam-macam. Mulai dari hoaks, hatespeech, meme, berita, gosip, semuanya ada. Dalam kondisi ini, mungkin yang paling dibutuhkan adalah pihak yang bisa memaknai chaos. Sumber atau kanal informasi yang berkualitas, bisa dipercaya, dan mapu membantu masyarakat mengarungi kekacauan ini. Kita mengenalnya sebagai pers. Pihak yang berperan sebagai gatekeeper informasi.

Pihak yang dapat memverifikasi segala informasi demi kepentingan publik. Pihak yang dapat membantu kita memahami, mengidentifikasi hoaks, dan gosip.

Apa yang sedang terjadi pada jurnalisme?

Peran dominan media dan pers sebagai penjaga gerbang diruntuhkan oleh internet yang membuat lalu lintas informasi menjadi jauh lebih jauh lebih bebas. Kini pers seakan menjadi penjaga gerbang dalam dunia yang tidak berdinding. Semua orang adalah semacam “jurnalis” yang bisa memproduksi dan berbagi informasi sendiri.

Ini terlihat dari semakin banyaknya masyarakat yang memilih untuk memperoleh berita dari media sosial. Contohnya industri pers Amerika. Jika dulu mereka sempat menguasai periklanan, industri pers kini merebut remah-remah kue iklan dalam iklim digital yang dikuasai facebook dan google. 90% dari dana iklan digital di Amerika, ujung-ujungnya masuk dalam dompet kedua raksaa ini. Akhirnya jumlah wartawan dan rata-rata upah mereka menurun.

Jelas tampak bahwa jurnalisme tengah mengalami krisis. Dalam kondisi terjepit, mereka justru mencoba menyesuaikan diri dengan memperbanyak konten. Dengan harapan memperbanyak klik dan pemasukan dari iklan.

Bagaimana di Indonesia?

 “Yang paling kerasa ya tentu, misalnya satu orang reporter diberikan tanggung jawab untuk mengerjakan 10 berita per hari, atau 15 berita atau bahkan 20 berita. Untuk media online cuma butuh what, when, dan who. Udah tiga itu aja,” ungkap Muammar Fikrie Editor Beritagar.id.

 “Dalam satu hari itu belum tentu ada berita, belum tentu ada satu berita pun gitu. Akhirnya kita harus nyari kan. Jadi kalau misalnya ditargetin satu orang harus 20 berita, 15 berita, lu mau bikin apa? Kalau di situ bener-bener landai lah istilahnya. Mau bikin apa gitu?” ujar Riana A. Ibrahim Mantan karyawan Kompas.com.

Semakin banyak konten justru menjadi semakin lemah. Kalau dahulu pers dianggap menentukan agenda publik, sekarang merka berisiko dicucuk oleh agenda pihak-pihak lain, misal politisi, korporasi, atau meme yang sedang viral. Tanpa waktu dan sumber daya yang cukup, mereka tidak bisa menjalankan peran ideal mereka sebagai verifikator informasi. Obsesi kuota ini punya alasan, ia punya akar sejarah.

“Begini, Indonesia kalau mau ditilik dari sejarah lanskap media digital itu kita letakkan dengan pola, yaitu menekankan kecepatan, menekankan frekuensi, formulasi ini yang dipercaya sebagai sebuah formulasi yang bisa memastikan sebuah media digital bisa bertahan, bisa survive dan seterusnya,” kata Fikrie.

Salah satu dari yang Fikrie maksud, adalah Detik.com, pionir yang telah memetakan bisnis pers digital di Indonesia.

“Iya itu bener. Kita mengacunya pasti detik. Detik udah naik nih, kok lu belom sih? Pasti gitu.  Detik kok dapet ini nih? Kok lu ga dapet? Itu iya,” kata Riana A. Ibrahim Mantan karyawan Kompas.com.

“Ini formulasi yang dianggap sebagai, ya formulasi baku gitu, kalo lu mau bikin media siber maka lu harus mengikuti formulasi ini. Apa itu? Cepat, frekuensinya besar,” ujar Fikrie.

Orientasi iklan yang cuma ditakar lewat klik ini berkontribusi pada obsesi kuota yang kita bisa lihat sekarang.

“Sejauh ini yang aku lihat seperti itu ya di Indonesia, page views-nya berapa? Clickers-nya berapa? Itu masih menjadi patokan tiap media online untuk berkembang ke depan gitu, karena dengan clickers itu sendiri menarik pengiklan untuk memodali kelangsungan usahanya. Walaupun sebenarnya tidak bisa tunggal gitu,” jelas Riana.

Secara global, industri pers tengah mencoba keluar dari kungkungan iklan dan frekuensi. The guardian mencoba sistem donasi. The New York Times, The Atlantic, dan banyak lainnya mencoba sistem berlangganan.

Bagaimana di Indonesia?

“Banyak media baru bermunculan yang mencoba model konten baru, model bisnis baru, nah ini yang menurutku jadi satu titik cerah. Keberanian-keberanian ini menurutku yang harus didukung,” jelas Fikrie.

Internet telah menghadapkan jurnalisme dengan perubahan besar, namun proses negosiasi mereka dengan perubahan ini sama sekali belum selesai. Mungkin pers tidak perlu terjebak dengan logika iklan dan tekanan kuantitas, mereka perlu mencari ceruk dan strategi mereka sendiri.

Mungkin kelak pers akan menemukan equilibrium baru dalam pasar informasi internet, yang mengizinkan mereka menjadi sumber informasi terpercaya, yang membantu masyarakat dalam karut-marut bising internet.

 

Artikel By : Elsa Rohaini

Sumber : YouTube/Remotivi/Apakah Internet Memperburuk Jurnalisme?

Be the first to comment

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*