Post Truth: Media Sosial & Celah bagi Kebohongan

PESONALAMPUNGNEWS.COM – Kita sudah memasuki era di mana informasi disebar secara instan. Kecanggihan teknologi memungkinkan informasi dibuat dan diproses secara masal. Kemudian Informasi lalu-lalang dengan cepat dan sulit dikendalikan—persis seperti jalanan yang berisi orang-orang tak sabar.

Keadaan ini mendorong dan menggiring manusia pada situasi yang serba cepat. Manusia (yang selalu ingin belajar) dapat mengetahui banyak hal dalam waktu yang relatif singkat. Manusia dapat mengetahui tentang isu politik terbaru, mengetahui cara untuk dapat kaya dengan cepat, mengetahui kinerja dari pemerintah setempat, mengetahui sejarah perkembangan teknologi, dan pengetahuan lain yang tersebar di laman-laman informasi secara cepat dan (mungkin) tepat.

Namun, kemudahan akses Informasi ini, pada akhirnya, membuat manusia hidup dengan logika waktu pendek. Artinya, manusia cenderung mengabaikan pengupasan informasi secara sistematis, mendalam, dan objektif. Lalu, kita lihat di media sosial, daripada berdiskusi, berdebat secara sehat, atau menguji informasi dengan mengkomparasikan pengetahuan yang dimiliki, orang-orang lebih memilih untuk mengkerdilkan dan mencemooh gagasan atau opini orang lain.

Orang-orang cenderung sentimen. Hasrat dan ego menjadi palang pintu yang paling utama dalam menerima informasi. Maka, informasi yang didramatisir atau informasi yang disetting untuk menyentuh emosional publik, lebih laku dikonsumi dan dibagikan, ketimbang informasi yang kritis dan dianggap kaku. Inilah selentingan era informasi atau yang juga dapat disebut sebagai era Post-Truth.

Post Truth – Pasca Kebenaran

Istilah post truth, pertama kali ditulis oleh Steve Tesich pada Januari 1992, dalam artikel berjudul a Government of Lies di Majalah Nation. Hingga post-truth akhirnya menjadi buming saat pemilihan presiden Amerika tahun 2016, dan Oxford mencatatnya sebagai word of the year 2016.

Dalam kamus Oxford, Post Truth didefinisikan sebagai keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Fakta-fakta alternatif menggantikan fakta aktual dan kedudukan perasaan (emosi) lebih tinggi dari bukti.

Post truth atau pasca kebenaran, adalah malampaui kebenaran. Artinya, ada penampikan terhadap fakta. Merujuk pada Oxford Dictionaries, post truth terjadi, biasanya, karena ada seseorang yang merasa tidak aman atas fakta yang ada, sehingga membantah fakta itu. Sebagai contoh, baru-baru ini, bagaimana Bapak Sambo berupaya untuk menyamarkan peristiwa pembunuhan brigadir J. Oleh karena pengertian itu, Dr. Fahrudin Faiz bilang, dalam kajiannya, post truth adalah ngapusi (bohong).

Masyarakat di era post truth, akan cenderung mengamini informasi yang sesuai dengan keyakinan dirinya. Maka hal wajar apabila ada penolakan terhadap informasi yang tidak sesuai dengan keyakinannya, kendati informasi tersebut sesuai fakta dan masuk akal. Era post truth telah menurunkan standar dari kebenaran. Sebab dalam era ini, kebenaran merupakan milik siapa saja. Kebenaran akan dianggap sebagai kebenaran jika kebenaran tersebut telah menyenangkan dan bermanfaat bagi dirinya, bukan atas se-valid apa kebenaran yang dianggapnya sebagai kebenaran.

Watergate dan Awal Mula Post Truth.

Dalam a government of lies (1992), tulisan Steve Tesich bermula dari Nixon dan Skandal Watergate sampai dengan masa pemerintahan Reagan dan skandal Irak. Dalam artikel tersebut, Tesich mengungkapkan pandangannya mengenai skandal pemerintahan Amerika Serikat yang membuat rakyat AS berusaha menghindari kebenaran, dengan kata lain, berlindung dari kebenaran.

Skandal Watergate adalah peristiwa perampokan markas Democratic National Committee (DNC) yang melibatkan para petinggi AS, termasuk orang nomor satu AS pada waktu itu (1972). Perampokan itu, pada mulanya dianggap sebagai perampokan biasa sampai pada akhirnya jurnalis dari Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, mengungkap skandal tersebut. Perampokan tersebut bertujuan untuk menyabotase keluar masuk informasi sebagai usaha untuk memenangkan pemilu yang akan digelar.

Publik AS mendesak—menuntut kebenaran. Nixon menyerahkan rekaman di kantor presiden, sebagai bukti dari keterlibatannya dalam skandal Watergate. Pada Agustus 1974, Nixon mengundurkan diri. Sebuah kebenaran pahit, bahwa presiden mereka melakukan hal kotor demi kemenangan. Kejadian ini membuat rakyat AS tidak nyaman atas kebenaran yang terjadi.

“Kita mulai menyamakan kebenaran dengan berita buruk dan kita tidak menginginkan berita buruk lagi, tidak peduli seberapa benar atau vitalnya hal itu bagi kesehatan sebuah bangsa. Kita meminta pemerintah untuk melindungi diri kita dari kebenaran,” tulis Tesich.

“Kita, dengan tindakan kita sendiri, menunjukkan bahwa hal itu tidak lagi diperlukan, bahwa kita telah meraih mekanisme spiritual yang dapat menolak kebenaran apapun. Dalam cara yang sangat mendasar, kita, sebagai masyarakat merdeka, telah dengan sukarela memilih untuk hidup di dunia pasca-kebenaran.”.

 

Artikel By : Des Aryanto

Be the first to comment

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*