PESONALAMPUNGNEWS.COM – Saya mungkin dapat menceritakan sesuatu, sekaligus membawamu ber-wisata ke lembah kata-kata, ke tempat yang tak pernah kau kunjungi, atau berlarian di halaman hati milik kekasih idamanmu. Tapi dalam tulisan ini, saya tidak ingin membiarkanmu terlena oleh bahasa–atau larut dalam perasaan yang memilukan.
Boleh jadi, saya dapat langsung menulis bagian penting dalam tulisan ini. Tetapi saya tidak berhasrat untuk menyampaikannya di awal. Karena apa yang lebih penting daripada yang penting adalah yang membuatnya menjadi penting. Karena mengetahui pintu keluar akan sia-sia tanpa rutenya. Sebab, jawaban tak akan ditemukan tanpa proses pencarian, bukan?
Baiklah, akan kusampaikan padamu perihal keinginan yang gugur di belakang garis strat. Tapi sebelum dimulai, ada baiknya kita berhenti menulis dan sejenak membaca!
Ketika rimbun daun berdesik, saya baru tersadar dari renungan. Hampir setengah jam saya bertafakur di teras rumah, mencari ide tulisan di dalam kepala yang semerawut. Sekaligus menunggu ide yang tiba-tiba jatuh disepak angin, atau ide orang-orang yang sengaja dibuang ke pinggir jalan. Tapi tak ada. Tak saya temukan ide di rongga-rongga kepala, tersangkut di ranting-ranting pohon, atau pun tergeletak di gigir trotoar.
Barangkali Neil Gaiman benar atas perkataannya. Ide hanya ada di klub ide bulanan. Bukan begitu saja muncul di bawah temaram lampu atau dari teko ajaib. Tidak begitu saja dapat dipetik seperti tanaman yang tumbuh liar.
Mungkin memang ide seharusnya diperjual-belikan di toko-toko online, dijual ketengan di warung-warung, supermarket, atau lebih bagus lagi jika ide dibagikan secara gratis. Agar ke depan, tidak ada lagi saya yang lain; yang tafakurnya sia-sia, yang pencariannya tak membuahkan hasil, yang waktunya tidak habis dalam tunggu.
Ide, barangkali memang begitu; hilang ketika dirinya diperlukan. Barangkali juga, ide raib semau-mau karena dirinya hanya akan dicari ketika diperlukan. Atau malah, ide memiliki kesulitan untuk akrab dengan orang-orang?
Misalnya saya telah memprediksi kemungkinan-kemungkinan itu sejak awal. Tentunya saya tidak akan tergiur oleh kabar yang disebarkan kolega tentang giat yang dapat melatih jalan pikiran agar lebih sistematis, agar lebih filsafati. Tentunya juga, saya tidak akan mengamini ajakan kolega yang begitu lembut dan terkesan manusiawi untuk bergabung dalam komunitas menulis.
Setelah tergabung dalam komunitas menulis, saya menyadari bahwa ajakan yang manusiawi itu tak ubahnya hanyalah strategi mencari wadah untuk meletakkan kebingungan. Ajakan itu tak ubahnya adalah ajakan untuk masuk jauh ke dalam hutan dan melupakan jalan pulang. Ajakan itu, adalah sebab pupusnya harapan yang telah saya susun; mengurai pikiran yang kusut, melelehkan ke-goblok-an, dan mampu menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengadopsi kiat-kiat menulis yang sistemasitk.
Sampai di sini, agaknya saya harus menyudahi pengantar; sedikit kisah pencarian ide dan tentang kebingungan-keingungan. Lalu berlanjut pada bagaimana saya menyelesaikan yang dianggap masalah ketika hendak menulis itu.
Saya telah tergabung dalam komunitas menulis. Sudah barang pasti, saya mesti setor tulisan. Tentang apapun.
begitu banyak urusan tentang hidup, dan saya diharuskan menyempatkan waktu untuk menulis. Itu beban. Siapa pun Si Pemula, akan sepakat dengan pendapat saya. Tapi saya harus tetap menulis sesuai kesepakatan di awal.
Baiklah, saya harus menulis.
Pada mulanya, saya mulai menyusun kerangka tulisan tentang keresahan-keresahan yang terjadi di sekitar. Kemudian saya mulai meregangkan otot-otot jari sekaligus memperhatikan keyboard yang menunggu untuk di-pencet. Saya harus rileks dan percaya diri di depan laptop.
Setelah hampir dua jam saya duduk berhadapan dengan Laptop. Saya tak kunjung menulis. Saya harus mengakui bahwa menulis memang terbilang sulit. Kerangka tulisan yang telah saya susun selama seharian terpaksa ngangkrak.
Tapi, mengingat kewajiban sebagai anggota komunitas. Saya harus menulis. Bagaimana pun caranya.
Saya harus rela bertanya pada teman-teman yang telah lama menulis. Tapi mereka tak memiliki jawaban yang memuaskan. Pada akhirnya saya harus kembali bertafakur; membiarkan bayang-bayang kewajiban menghantui saya semaunya.
Tafakur telah membawa saya ke dalam lamunan yang panjang, sekaligus telah merontokkan keresahan-keresahan yang sempat menendang-nendang dada saya. Pada lamunan itu, saya teringat tentang pelajaran yang pernah disampaikan Mbah Bob -seorang tokoh dari cerita yang ditulis Ari Pahala Hutabarat dalam buku Menanam Benih Kata : Tentang Menulis Puisi- kepada murid-muridnya;
Anggapan bahwa kegiatan menulis itu sulit yang pertama-tama harus diubah. Celakanya anggapan ini sudah berurat-berakar di dalam pikiran kalian. Anggapan itu sudah ngendon di darah, tulang, kulit, gen, dan pada akhirnya di otak kalian yang bebel itu. Dia membentuk mindset, struktur berpikir kalian. Sehingga yang tadinya sekedar anggapan benar-benar menjadi kenyataan. Menulis yang hakikatnya tak beda dengan kegiatan lainnya, seperti berjalan, menggendong, atau menimba air jadi terkesan begitu sulit dan mengerikan.
Setelah mengingat itu, saya memahami sutau hal; alasan mengapa saya mematung di depan laptop dan tak kunjung menulis adalah mindset. Pola pikir yang terlanjur nyangkut di dalam kepala. Paling tidak, Ingatan tentang perkataan Mbah Bob telah menunjukkan jalan untuk keluar dari kebingungan-kebingungan.
Belum selesai pada ingatan tentang perkataan Mbah Bob. Sebenarnya, bukan cuma cara mendapatkan ide dan kebingungan-kebingungan yang menjadi permasalahan ketika ingin menyelesaikan tulisan. Permasalahan yang sebenarnya hadir dari luar diri pemula; komentar orang lain.
“tulisanmu cukup jelek untuk dinikmati, mestinya kau tidak menulis saja,” atau “jika menulis menjadikanmu bahan lelucon, lebih baik kau jadi badut saja bukan jadi penulis,”.
Saya sebenarnya tidak menganggap hal yang demikian adalah masalah. Hal ini wajar. Sebab dari dulu, saya telah diajari bahwa semua pemula pasti mengalami kesulitan dan ketakutan sebelum akhirnya mendekati sempurna. Misalnya saja, tidak mungkin seorang yang kini mahir bersepeda tidak pernah jatuh ketika belajar bersepeda. Jadi, adalah wajar ketika pemula menulis dengan jelek.
Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kebingungan untuk menulis itu adalah kamuflase dari ketakutan. Ketakutan untuk dikomentari. Ketakutan yang lahir dari masa depan yang kita terka sendiri.
Dan akhirnya harus disepakati bahwa mestinya kita berhenti menulis dan lebih dulu menyingkirkan segala anggapan yang menjadi pagar pembatas antara kita dengan garis start. Setelah anggapan itu berhasil dilumpuhkan, barulah kita dapat mulai menulis, dengan gembira, tanpa rasa takut, tanpa menampakkan wajah pucat di hadapan laptop.
Artikel By : Des Aryanto
Be the first to comment