(Yuridhis Mahendra )
“Saat ini Warga Negara Republik Indonesia dari sabang sampai marauke meributkan persoalan pemilihan umum yang sebentar lagi di gelar serentak baik DPRD Kabupaten/kota dan Provinsi,DPR RI,DPD RI dan Presiden. tetapi muolehngkin kita lupa bahwa ada sebuah ketidak adilan dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden di negri ini”
Dari kalimat pembuka di atas disadari atau tidak ada sebuah Pertanyaan yang sangat sederhana dan menarik tentang sebuah aturan pemilihan Presiden RI yakni sebuah Tanya besar kapan ia sebagai Presiden dan kapan ia sebagai Calon Presiden.
Hal inilah yang membuat Para Apatur sipil Negara, Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi menjadi Bingung dan Mungkin Berkilah sekira hadir dalam acara Kampanye. Ketika Presiden memanggil atau mengundang Kepala Daerah itu sebagai Presiden maka wajib mengikuti Perintah Presiden Sebagai kepala Negara, yang kata mereka ia sebagai Presiden.
Menjadi aneh ketika Sang Calon Presiden Kampanye Politik sebagai Kandidat Calon Presiden dan sebagai Kepala Negara menjadi penafsiran yang luas diberbagai Kalangan dan Bahkan Lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ikut kehilangan arah.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa, Aparatur Sipil Negara dilarang ikut dalam Kancah Politik Praktis, terlebih sebagai Kandidat ataupun terlibat dalam Kampanye kepala Daerah dan bahkan sekelas Pilpres sekalipun yang termaktub dalam Pasal 2 Huruf Undang – undang Nomor 5 Tahun 2014, Bahwa Setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun (Beranarbo/Bertendensi).
Jika merujuk dalam Regulasi dan Mekanisme Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015 , PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota Wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis Sebgai PNS sejak ditetapkan sebagai Calon peserta Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
Jika Mengutip Undang – undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasangan Calon dilarang melibatkan ASN Anggota TNI/Poslri, dan Kepala Desa atau Perangakat Desa Lainnya, Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahwa ASN Independen dan tidak memihak dengan Pasangan Calon manapun dan Partai apapun dan jika terbukti ada Apatur Sipil Negara melanggar maka akan diberi Sanksi mulai dari Surat peringatan hingga Pemberhentian.
Betapa Banyaknya aturan atau Regulasi yang mengatur bahwa Pasangana Calon Kepala Daerah tidak diperbolehkan menggunakan Fasiltas Negara dan bahkan Perangkat Negara itu sendiri. Objektifitas Regulasi itu terbilang sangat manusiawi, Adil dan Fair Play bagi Para Kandidat Pasangan Calon yang sedang berkompetisi sesuai dengan Azas Pemilu itu sendiri.
Sekarang pertanyaan yang timbul Bagaimakah Regulasi Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dari dulu himgga saat ini sudah sesuaikan dengan Azas Pemilu yang selalu kita gembar gemborkan ?
Hari ini kita tidak bisa tutup mata, Faktanya sudah terjadi ketika Sang incumbent mencalonkan diri kembali sebagai Presiden RI, Badan Pengawas Pemilu seperti tidak memiilki Power of Justice, bukan Hanya Lembaga Pengawas pemilu dengan mudah dikelabui oleh atas nama Presiden atau Kepala Negara, Bahkan Seluruh Lapisan Elemen Masyarakat dibuat bingun mengiat Keabua – abuan aturan yang terkesan mandul.
Celakanya KPU RI telah menjadwalkan Agenda Kampanye baik Pasangan dari Incumbent maupun Pasangan Calon lainya. Namun Saat Para Kepala Daerah dan Stakholder lainya meminta ataupun diminta untuk membuka acara hingga membagikan sertifikat Tanah sebagai Kepala Negara atau Presiden, yang berstatus Ganda sebgai Calon Presiden sehingga menimbulkan kesan Ambiguitas.
Menjadi menarik ketika ada pertanyaan Bagaimanakah Nasib Lawan Politiknya yang hari ini bukan sebagai Kepala Negara ataupun Subjek yang memiliki Otoritas dan kebijakan sebagai Pejabat Publik yang hari ini yang tentunya tidak diperkenankan menggunakan Fasitas Negara ataupu Perangkat Negara. Sehingga menimbulkan Pertanyaan yang mendalam “Adilkah?” dan sudah Relevan kah dengan Azas Pemilu kita Saat ini yang katanya Jujur dan Adil .
Asas adil di maksud disini adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan atau pun diskriminasi terhadap peserta pemilu dan pemilih tertentu.
Sebab jika ada Pembiaran dengan tidak dibuatnya sebuah aturan maka yang terjadi lawan Politik Incumbent Hanya mengandalkan Jadwal Kampanye dan Musyawarah Partai serta mungkin ada silahturahmi saja dengan Masyarakat dan itupun terkadang segala gerak gerik lawan incumbent dibawah Pengawasan Perangkat Negara yang masih dipimpin oleh Incumbent yamg tentumua akan menimbulkan Penafsiran Ganda dan tidak berlaku sama bagi Pasangan Calon.
Alasan yang sangat fundamental ketika Presiden mencalonkan diri kembali sebgai Presiden tidak mundur dan atau Cuti karna tidak ada Regulasi yang mengaturnya. Dilihat Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Kepemiluan, Khususnya dalam Bab yang mengatur Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dan hal ini bukan hal pertama terjadi, diera Susilo Bambang Yudhoyono pun sama bahwa Presiden Incumbent tidak diwajibkan untuk mundur dan atau Cuti sebagai Presiden.
Sedangkan Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,mengatur Bahwa Pejabat Negara yang calon Presiden wajib mundur dari Jabatannya. Dan ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil sebagai petahana. Hal sama pun diatur juga dalam Pasal 170 Undang – undang Pemilu.
Pada Tahun 2008 ada regulasi yang menerangkan bahwa Presiden mundur dalam jabatannya, jika mencalonkan diri kembali sebagai Presiden. Namun UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah Resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi Berdasarkan Pasal 571 huruf a Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017. Memang tidak ada Regulasi bahwa Presidenu harus mundur atau cuti jika dilihat dari Hukum Tata Negara.
Be the first to comment